SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM INTERAKSI SOSIAL: PERSPEKTIF SOSIOLOGI SIMMEL

SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM INTERAKSI SOSIAL: PERSPEKTIF SOSIOLOGI SIMMEL

A. Pendahuluan

Terbentuknya lembaga pendidikan merupakan suatu konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan masyarakat menjadikan pengorganisasian perangkat-perangkat pengetahuan dan ketrampilan tidak lagi mungkin untuk ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Diperlukannya pihak lain untuk mengurusi organisasi dan apresiasi pengetahuan secara khusus serta mengupayakan untuk mentransformasikan kepada generasi muda merupakan kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga pendidikan (Karsidi, 2008: 7).

Meskipun wujudnya berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain, keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya masyarakat modern. Hal ini tidak terlepas dari adanya hukum perkembangan masyarakat yang terdiri dari tiga jenjang yang dikemukakan oleh Comte (Soekanto, 2003: 113).

Perkembangan masyarakat, menurut Comte (dalam Soekanto, 2003: 113), dikatakan terdiri dari tiga jenjang. Jenjang pertama adalah jenjang teologi di mana manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan jenjang berikutnya adalah pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk menangkap fenomena lingkungan dengan bersandar pada kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Adapun tingkat tertinggi perkembangan masyarakat ditandai dengan kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam maupun sosial berdasarkan pada deskripsi ilmiah melalui pemahaman terhadap kekuasaan hukum objektif. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perwujudan manusia positivis hanya mampu ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern.

Pendapat lain tentang sekolah sebagai suatu lembaga modern dikembangkan dari pandangan Durkheim dalam bukunya yang berjudul The Division of Labour in Society (Hanson, 1996: 16). Menurut Durkheim dikatakan bahwa kecenderungan masyarakat maju adalah adanya pembagian kerja dalam pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik, pendidikan, kesenian, dan bahkan keluarga. Gejala tersebut, menurut Durkheim, merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi industri yang didalamnya memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya.

Sekolah sebagai suatu lembaga tidak terlepas dari adanya interaksi yang terjadi antar elemen sekolah tersebut.  Elemen-elemen sekolah dengan individu-individu yang ada di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan membentuk suatu interaksi. Hal ini sesuai dengan pandangan Simmel yang merujuk pada pendapat Fechner tentang doktrin-doktrin atomisme logis yang menyebutkan bahwa masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial (Soekanto, 2003: 118).

Menurut Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri (Palmer, 2005: 334).

Mengacu pada latar belakang di atas, tulisan ini bermaksud untuk mengkaji tentang sekolah sebagai suatu sistem interaksi sosial. Interaksi sosial persekolahan dibahas dengan mengacu pada teori Simmel mengenai realitas sosial. Adapun permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana makna interaksi antara guru dengan murid di sekolah?; 2) Bagaimana makna interaksi yang bersifat edukatif dalam konteks persekolahan?; 3) Bagaimana karakteristik interkasi edukatif yang ada dalam konteks persekolahan? 4) Bagaimana bentuk interaksi edukatif dalam konteks persekolahan?; dan 5) Bagaimana interaksi timbal balik antara sekolah dengan keluarga?

B. Pembahasan

1. Simmel dan Konsep Sosiologinya

Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi (Palmer, 2005: 331).

Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial (Palmer, 2005: 334). Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi.

Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri (Soekanto, 2003: 254).

2. Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel

Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.

Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi (Palmer, 2005: 335). Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu.

Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia (Palmer, 2005: 335). Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi.

Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi. Menurut Simmel dikatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan khusus, yaitu satu-satunya ilmu pengetahuan analistis yang bersifat abstrak di antara semua ilmu pengetahuan kemasyarakatan (Soekanto, 2003: 405). Lebih lanjut Simmel menegaskan bahwa objek sosiologi adalah bentuk-bentuk hubungan antar manusia.

3. Makna Interaksi antara Guru dengan Murid di Sekolah

Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur yang paling vital dalam proses belajar mengajar.

Sekolah adalah institusi pendidikan formal yang didalamnya ada komunitas peserta didik dan pendidik yang berinteraksi, sehingga terbentulah medan interaksi yang diberi nama proses pembelajaran (Parson, dalam Karsidi, 2008: 64). Medan interaksi ini bergerak terus secara dinamis dan tidak pernah berakhir. Bahkan pergerakannya cenderung tak terukur dan tidak dapat diramalkan.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah juga wahana proses sosialisasi pengenalan nilai antarpesertadidik, antarpendidik, antara pendidik dan peserta didik dan sebaliknya. Jejaring yang dibangun ini secara teoritis harus bermakna pendidikan. Namun jika dekati dengan teori Simmel yang menyatakan bahwa dalam interaksi itu selalu ada ordinat dan sub-ordinat; maka guru (pendidik) selalu pada posisi ordinat, sementara murid pada posisi sub-ordinat (Palmer, 2005: 335). Akibatnya bahwa interaksi sekalipun berjalan dua arah, tetap saja murid ada pada level yang berbeda dengan guru (pendidik). Akibat lanjut apa yang diberikan oleh guru akan diterima begitu saja oleh murid. Kondisi ini ditambah lagi dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat yang memposisikan guru sebagai digugu dan ditiru. Jelas guru adalah patron dari murid untuk proses pembentukan tata nilai melalui proses sosialisasi.

4. Makna Interaksi yang Bersifat Edukatif dalam Konteks Persekolahan

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan kehadiran manusia lain. Keberadaan manusia lain selain individu tersebut menyebabkan terjadinya proses interaksi timbal balik terjadi secara alamiah. Proses jalinan hubungan antarindividu maupun kelompok terjadi dalam rangkaian upaya memenuhi kebutuhan. Motif saling membutuhkan yang berbeda-beda jenis kebutuhan membuat manusia saling melayani kebutuhan manusia lain.

Kecenderungan manusia untuk berhubungan tersebut melahirkan adanya komunikasi dua arah, yaitu komunikasi melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Oleh karena itu akan timbul adanya aksi dan reaksi sehingga interaksi pun terjadi. Interaksi tersebut adalah interaksi manusia yang lazim terjadi. Hal ini berbeda dengan interaksi edukatif, di mana interaksi tersebut dilandasi adanya tujuan yang bersifat mengikat (Karsidi, 2008: 66).

Interaksi edukatif adalah interaksi yang dengan sadar  meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Hal ini sesuai dengan makna edukatif itu sendiri. Kata edukatif merupakan kata sifat dari kata education yang diartikan sebagai ”the process by which society deliberately transmits its accumulated knowledge, skills and values from one generation to another” (Good dan Brophy, 1994: 151).

Apa yang dinamakan interaksi edukatif, secara khusus adalah sebagai interaksi belajar-mengajar. Interaksi belajar-mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan interaksi dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas mengajar di satu pihak, dengan warga belajar (siswa, anak didik/subjek belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain. Interaksi antara pengajar dan peserta didik diharapkan merupakan proses motivasi. Maksudnya, bagaimana dalam proses interaksi itu pihak pengajar mampu memberikan dan mengembangkan motivasi serta reinforcement kepada pihak peserta didik agar dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal (Barbara, 1977: 5).

Secara rinci dalam proses edukatif itu paling tidak mengandung ciri-ciri sebagai berikut: a) Ada tujuan yang ingin dicapai; b)  Ada bahan atau pesan yang menjadi isi interaksi; c)     Ada pelajar yang aktif mengalami; d)  Ada guru yang melaksanakan; e) Ada metode untuk mencapai tujuan; f) Ada situasi yang memungkinkan proses belajar mengajar berjalan dengan baik; dan g) Ada penilaian terhadap hasil interaksi (Sardiman, 2001: 122).

5. Karakteristik Interaksi Edukatif yang Ada dalam Konteks Persekolahan

Interaksi  edukatif sebenarnya  komunikasi timbal balik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, sudah mengandung maksud-maksud tertentu, yakni untuk mencapai pengertian bersamaan yang kemudian untuk mencapai tujuan (dalam kegiatan belajar berarti untuk mencapai tujuan belajar). Interaksi yang dikatakan sebagai interaksi edukatif, apabila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya.

Proses belajar-mengajar akan senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek pokoknya. Dalam proses interaksi antara siswa dengan  guru, dibutuhkan komponen-komponen pendukung seperti antara lain telah disebut pada ciri-ciri interaksi edukatif.

Edi Suardi dalam bukunya Pedagogik (1980: 19) merinci ciri-ciri interaksi belajar mengajar sebagai berikut: a) Interaksi belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu; b) Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; c) Interaksi belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus; dan d) Ditandai dengan adanya aktivitas siswa.

Ciri-ciri interaksi edukatif menurut Djamarah (dalam Karsidi, 2008: 67-68) mencakup tujuh aspek. Ketujuh aspek tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a) Ada tujuan yang ingin dicapai; b) Ada bahan/pesan yang menjadi isi interaksi; c) Ada pelajaran yang aktif mengalami; d) Ada guru yang melaksanakan; e) Ada metode untuk mencapai tujuan; f) Ada situasi yang memungkinkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik; dan g) Ada penilaian terhadap hasil interaksi.

Sebagai konsekuensi, bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar mengajar. Dalam kegiatan pengajaran, apa yang dikatakan interaksi edukatif  itu akan berlangsung dengan kegiatan interaksi belajar mengajar.

6. Bentuk Interaksi Edukatif dalam Konteks Persekolahan

Pendidikan dapat dirumuskan dari sudut normative, karena pendidikan menurut hakikatnya memang sebagai suatu peristiwa yang memiliki norma. Artinya bahwa dalam peristiwa pendidikan, pendidik (pengajar/guru) dan anak didik (siswa) berpegang pada ukuran, norma hidup, kesusilaan yang semuanya merupakan sumber norma di dalam pendidikan..

Ada tiga bentuk komunikasi antara guru dan anak didik dalam proses interaksi edukatif, yaitu komunikasi sebagai aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi (Karsidi, 2008: 69). Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah menempatkan guru sebagai pemberi aksi dan anak didik sebagai penerima aksi.

Dalam komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi dan sekaligus penerima aksi. Anak didik bisa berperan sebagai penerima aksi dan bisa pula sebagai pemberi aksi. Sedangkan dalam komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi multi arah, komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dengan anak didik. Anak didik dituntut lebih aktif dibandingkan dengan guru.

7. Interaksi timbal balik antara sekolah dengan keluarga

Keluarga sebagai satuan organisasi terkecil di masyarakat mendapat peranan sangat penting karena membentuk kepribadian dan watak anggota keluarganya. Sedangkan masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga. Dari satuan terkecil itu terbentuklah gagasan untuk terus mewariskan standar watak dan kepribadian yang baik yang diakui oleh semua golongan masayarakat, salah satu institusi yang mewariskan kepribadian dan watak kepada masayarakat adalah sekolah. Sekolah tidak akan terus berdiri jika tidak di dukung oleh masyarakat, maka dari itu kedua sistem sosial ini saling mendukung dan melengkapi. Jika di sekolah dapat terbentuk perubahan sosial yang baik berdasarkan nilai atau kaidah yang berlaku, maka masyarakat pun akan menaglami perubahan sosial.

Sebagai salah satu wujud sekolah sebagai bagian dari masyarakat maka terbentuklah sekolah masyarakat (community school). Sekolah ini bersifat life centered. Yang menjadi pokok pelajaran adalah kebutuhan manusia, masalah-masalah dan proses-proses social dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai laboratorium dimana anak belajar, menyelidiki dan turut serta dalam usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan.

C. Penutup

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Apa yang dinamakan interaksi edukatif, secara khusus adalah sebagai interaksi belajar-mengajar. Interaksi belajar-mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan interaksi dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas mengajar di satu pihak, dengan warga belajar (siswa, anak didik/subjek belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain.

Ciri-ciri interaksi edukatif mencakup tujuh aspek. Ketujuh aspek tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a) Ada tujuan yang ingin dicapai; b) Ada bahan/pesan yang menjadi isi interaksi; c) Ada pelajaran yang aktif mengalami; d) Ada guru yang melaksanakan; e) Ada metode untuk mencapai tujuan; f) Ada situasi yang memungkinkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik; dan g) Ada penilaian terhadap hasil interaksi.

Proses interaksi belajar mengajar terjadi dalam berbagai pola komunikasi. Ada tiga bentuk komunikasi antara guru dan anak didik dalam proses interaksi edukatif, yaitu komunikasi sebagai aksi, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sebagai transaksi.

Keluarga sebagai satuan organisasi terkecil di masyarakat mendapat peranan sangat penting karena membentuk kepribadian dan watak anggota keluarganya. Sedangkan masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga. Dari satuan terkecil itu terbentuklah gagasan untuk terus mewariskan standar watak dan kepribadian yang baik yang diakui oleh semua golongan masayarakat, salah satu institusi yang mewariskan kepribadian dan watak kepada masayarakat adalah sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Tinggalkan komentar